Ketidakyakinan bukanlah alasan tuk berkata bisa
karena itu sebuah penipuan.
Sebagaimana jalan menampakkan diri, ikutilah;
Siapa berkata bisa menentukan jalan
sementara manusia hanya menduga-duga tujuannya?
Semangat manakah yang harus dipelihara
karena kita tidak tahu ujung kehidupan ini?
Tidaklah muluk berharap langit terbuka,
dan pendahulu-pendahulu yang suci turun memberi petunjuk.
Aku bahagia karena aku manusia;
Yang tidak dicari menampakkan diri,
yang dicari menjauh dan hilang di horison.
Bukankah itu absurd?
Barangkali mencari bukan inti kehidupan.
Kehidupan telah dijalani, apa lagi yang perlu dicari?
Melihat tapi tidak melihat;
mengerti tapi tidak memahami;
Bergejolak dalam buih perasaan.
Bukankah semua itu omong kosong belaka?
Para bijak jaman dahulu tidak mengejar impian,
pun mereka tidak berharap.
Melaksanakan kewajiban adalah sebagian dari bakti manusia,
dan bukankah itu baik untuk membendung keliaran impian dan keinginan?
Sesungguhnya bekerja tanpa mengharap apa pun hanya mampu dilakukan
oleh mereka yang sudah memahami bagaimana air mengalir ke laut.
Tak bisa menikmati fajar menyingsing dan sambutan kicau burung.
Alangkah indahnya andaikata bisa mengerti kata-kata Budha,
‘hidup hanyalah sepanjang nafas’.
Apa boleh buat aku hanyalah manusia awam,
bukan pelajar atau filsuf.
Mencari nafkah demi jaminan keturunan,
menjamin orang tua di hari tuanya sebagai balas budi yang tak pernah impas.
Andai masih ada orang suci di dunia ini,
tahu tapi tidak memberitahu,
ingin tapi tidak mengajak,
waktuku belumlah tiba.
Jalanku bukanlah jalanmu.
– Sajak-sajak Walet